[Cerita Pendek] Sekuntum Petunia dan Permohonan yang Tak Sampai

9:43 AM

Sekuntum Petunia dan Permohonan yang Tak Sampai
Oleh: Faustine Angeline

Angin malam berhembus pelan, memberikan kesejukkan tersendiri di malam musim panas. Yama menemukan dirinya berdiri di taman dekat sekolahnya dulu, sebuah taman kecil dengan pohon besar di tengah-tengah taman. Kalau musim semi, daun hijau pada ranting-ranting pohon itu akan memekarkan bunga berwarna merah jambu yang memenuhi dahan dan rantingnya. Sayangnya, bunga itu hanya mekar pada musim semi.

 Yama melangkahkan kakinya menuju pohon itu, menapaki jalan setapak yang disediakan di taman itu. Bunga-bunga musim panas mulai bermekaran, menghiasi satu sisi dari taman itu. Keempat sisi dari taman ini memang dihiasi oleh bunga-bunga yang berbeda, tiap sisinya dipenuhi oleh bunga dari musim-musim yang ada di Jepang. Pojok kiri atas dipenuhi dengan bunga musim semi, pojok kiri bawah musim panas, pojok kanan atas musim gugur dan pojok kanan bawah musim dingin. Langkahnya terhenti ketika ia melihat kumpulan bunga petunia berwarna biru keunguan yang memenuhi semak-semak di pojok kiri bawah, bersama dengan bunga-bunga musim panas lainnya.

Pemuda dengan potongan rambut cepak berwarna hitam itu membungkuk sedikit, memetik sekuntum bunga petunia itu. Yama tersenyum kecil, mengingat memori manis akan seseorang yang ia sayangi. Benar-benar seperti dirinya, indah tapi dapat bertahan di alam liar, batin Yama dalam hati. Bunga di tangan, ia lalu melanjutkan perjalanannya mendekati pohon yang berdiri di tengah taman.

            Ah, pohon ini, ucapnya dalam hati, lagi-lagi memori manis dari masa-masa sekolahnya bangkit di benaknya. Ia ingat sering bersandar di sini, menunggu sosok manis berambut panjang lurus untuk menemuinya. Nostalgia manis itu membuatnya bersandar pada batang pohon yang besar, tangan kirinya terlipat di depan dada sembari yang kanan memilin bunga yang tadi ia petik.

“Ah… Nama bunga ini apa ya?” 

            Yama bertanya pada dirinya sendiri, walau ia tahu tidak akan ada yang menjawab.

“Petunia, bukankah sudah berkali-kali kuingatkan padamu?”

Mata Yama langsung melayangkan pandangannya ke arah asal suara. Raut wajahnya yang kaget langsung berubah lembut ketika ia melihat siapa sosok itu. “Kau tahu kan betapa mudahnya aku melupakan nama, bukan?” Yama beranjak dari sandarannya, melangkah mendekati figur yang juga berjalan mendekatinya. 

“Bagaimana jadinya kalau aku tak ada, siapa yang akan mengingatkanmu?” 

“Maka dari itu, kau akan tetap bersamaku kan?”

Sosok berambut panjang berwarna biru muda itu tersenyum kecil, meraih tangan kiri Yama dan mengenggamnya lembut dengan kedua tangannya. “Kau ini… tampaknya masa depanku memang sudah direncanakan olehmu, Yama.” Yama tertawa pelan, tampaknya sangat menikmati suasana ini. 

“Kau tidak keberatan kan, Kou?” 

“Tidak… Jika kau memberi tahu padaku apa arti sekuntum Petunia.”

“Kau sendiri belum pernah memberitahukan artinya padaku!” 

Kou tersenyum sambil memberi pemuda di depannya beberapa anggukan kecil. 

“Itu memang karena kau harus mencari tahunya sendiri.”

****
Mata Yama terbuka pelan, masih berusaha untuk mengadaptasi masuknya sinar dari arah jendela kamarnya. Tadi itu… mimpi ya? tanya Yama pada dirinya sendiri sebelum beranjak dari posisi tidurnya, melipat kaki dan duduk di ranjangnya. Lagi-lagi mimpi itu, apa mungkin… batinnya dalam hati, matanya langsung mencari kalender yang berdiri tegap di atas meja kayu yang dipenuhi dengan buku-buku dan kertas yang berserakan. 

Yama beranjak dari kasur, membiarkan kakinya membawa tubuhnya ke hadapan meja itu. Tangannya tergerak untuk mengambil kalender tersebut, menyibakkan halamannya yang ternyata sudah lama tidak ia ganti. 

“Tanggal 7 Juli, ya..” Gumam Yama, tentunya tidak kepada siapapun. Sudah setahun, ucapnya dalam hati. Hari ini genap sudah setahun aku tinggal sendirian, tambahnya. Senyuman pahit terukir pada bibirnya seraya tangannya yang bergetar meletakkan kembali kalender tersebut ke tempatnya. 

            Tidak beranjak dari depan meja, Yama membuka laci pertama dari laci yang menempel pada kanan meja kayu itu dan tanpa melihat ke dalamnya, ia mengambil sebuah amplop yang tampak sedikit usang dan berkerut, seperti sudah terkena air berkali-kali. Menghela nafas berat, ia membuka amplop tersebut, mengeluarkan isinya dan meletakkannya di atas meja.

            Isi amplop itu hanya ada dua, secarik kertas dengan lubang di bagian atas yang juga sudah diikatkan pada seutas benang. Satu lagi, satu lembar kertas putih polos yang terlipat menjadi 4 kali lebih kecil dari ukuran aslinya. Berbeda dengan amplopnya, kedua barang ini masih terlihat cukup baru, walau ada sedikit kerutan, tapi terlihat jelas kalau Yama baru kali ini membuka amplop tersebut. Tangan Yama masih bergetar, tetapi ia beranikan diri untuk membuka lipatan kertas itu. 

            Mengambil nafas yang dalam, Yama pun mulai membaca.

****
“Yama,
Jika kau membaca ini, artinya sudah genap dua tahun kita tinggal bersama. Tidak, aku bukannya tidak mau mengatakannya langsung padamu, tapi kudengar dari adik iparku hal ini akan menjadi sesuatu yang menarik untuk dicoba.

Ah maaf, aku keluar dari topik ya? Yang aku ingin katakan sebenarnya cukup sederhana, tapi sebelum itu, apa kau ingat akan bunga petunia? Jangan katakan kalau kau lupa lagi, Yama,

“Ya, tentu aku ingat. Mana bisa aku lupa.”

****
            “Kau tahu arti bunga petunia dalam bahasa bunga?”

            Yama menggeleng, tentu saja ia tidak tahu. Kou seharusnya tahu kalau ia tidak begitu peduli dengan hal seperti itu. Yang ia tahu hanyalah bagaimana warna bunga itu cocok sekali dengan Kou.

            “Tidak, kau tahu kan aku tak punya minat terhadap hal seperti itu. Tapi,” Ia mengambil sekuntum bunga kecil itu dari tangan Kou, lalu menyelipkannya di telinga sosok yang ia sayangi itu. Seulas senyuman merekah di wajah Yama yang tampak puas atas hasil kerjanya. Tangannya tidak segera ia lepas, membiarkan rambut panjang Kou membelai kulitnya sebelum tangannya turun dan mengelus pelan pipi orang kesayangannya. “Seperti yang sudah kuduga, warna bunga ini memang cocok untukmu, Kou.” 

            Senyuman polos menghiasi wajah Yama, yang sebaliknya, membuat wajah lawan bicaranya semakin memerah. Yama merasa sedikit bersalah, tapi tak dapat ia pungkiri kalau ia suka melihat pipi Kou bersemu merah jambu seperti itu.

            “…Yama, kau ini—“

            “A-aku tidak salah memilih bunga kan? Apa artinya buruk?” Sanggah Yama cepat, khawatir kalau sebenarnya bunga ini memiliki arti yang buruk. Melihat kepanikan pada wajah kekasihnya, Kou hanya dapat tertawa kecil.

            “Tidak kok, walau sebuket bunga petunia menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam, tapi kalau hanya sekuntum…” 

            Kou berhenti, wajahnya kembali memerah. 

            “Kalau sekuntum?”

            “Itu, harus kau sendiri yang cari tahu.” Ujar Kou lagi.

****
            “Apa sudah kau cari tahu? Entahlah, aku punya perasaan kalau kau belum.
            Bagaimana? Apa jangan-jangan kau lupa dengan nama bunga itu?
            Haruskah aku megingatkanmu lagi? Apa jadinya kalau aku tak ada disana eh,

            Yama hanya dapat tersenyum pahit membaca kalimat terakhir.

            “Kau benar, aku tak tahu harus bagaimana.”

            Mata Yama kembali terpejam. Ia ingat, ingat betul, bagaimana telepon setahun yang lalu mengubah hidupnya. 

****
            “….Kecelakaan?”

            Tak ada jawaban, yang dapat Yama dengar hanyalah isak tangis adiknya. 

            “K-kou-san.. Ia, Ia…”

            Tabrak lari, tidak terselamatkan, tidak ada harapan lagi. Kata-kata itu terus terngiang di kepala Yama. Tidak, tidak mungkin bukan? Seseorang tolong katakan kalau ini hanyalah mimpi buruknya. “Kou.”

            Senyuman Kou terngiang di benaknya, air mata yang sedari tadi ia tahan keluar begitu saja. Adiknya, Rika, sedari tadi memanggil dirinya melalui telepon, tapi tak ia gubris.

            “…….Kou.”

            Di hari Tanabata*, hari di mana Hikoboshi** bertemu dengan Orihime***, Yama kehilangan orihimenya, dan satu-satunya orihimenya, Kou.

            “Kou."
****
            Air mata Yama sekarang sudah tak terbendung lagi. Tetesan air matanya jatuh membasahi kertas yang ia pegang. Sakit, rasanya masih sakit mengenang kenangan manis yang Kou tinggalkan untuknya tetapi ia juga ingin menjaga kenangan itu. Menarik nafas panjang, Yama putuskan untuk kembali membaca. 

            “Petunia. Sebuket bunga petunia berarti…

            “Ketidaksukaan yang mendalam.” Ya, Yama ingat ini.

            dan, sekuntum bunga petunia berarti….

            “Aku nyaman bersamamu.” Aku nyaman bersamamu.

            Air mata Yama sekarang benar-benar membanjiri tangannya. Ia tidak dapat menghentikan air matanya. Mengambil secarik kertas yang datang bersama dengan surat pendek ini, ia membalik kertasnya, membaca tulisan yang ada pada kertas itu.

            Semoga tahun depan, kita dapat merayakan tanabata bersama lagi – Kou.

****
            “Dengan ini, sudah selesai tugasku.”

            Yama tersenyum. Kertas yang sedikit terlihat tua itu sudah tergantung rapi di salah satu ranting bambu yang ia pasang. Di sebelahnya, kertas yang serupa juga tergantung dengan baik. Seuntai kata-kata juga tertulis pada kertas itu, kali ini dengan tulisan yang lebih berantakkan dari yang satunya. Yama beranjak dari ruang tamunya ke arah balkon apartemen yang ia tinggali. Matanya tertuju pada bintang-bintang, seraya memohon pada sosok kekasih bintang yang tengah bertemu pada hari itu.
            Aku ingin bertemu denganmu, walau hanya sekali lagi. –Yama

Catatan:
*Tanabata atau yang lebih dikenal sebagai festival bintang yang dilakukan pertahun oleh masyarakat di Jepang, Tiongkok dan juga Korea. Festival ini terkenal dengan tradisininya dalam menuliskan harapan atau keinginanmu di sebuah kertas yang nantinya digantung di dahan bambu. Tanggalnya berbeda-beda menurut daerah, tetapi yang biasanya digunakan sebagai hari tanabata adalah tanggal 7 Juli. 

**Hikoboshi adalah seorang penggembala ternak yang merepresentasikan bintang Altair. Dia jatuh cinta pada Orihime dan berkat ketekunannya dalam bekerja, raja langit, ayah Orihime, membiarkannya menikahi Orihime. Sayangnya, kehidupan bahagia mereka tak berlangsung lama karena mereka saling menelantarkan pekerjaan mereka yang membuat raja langit marah dan memisahkan mereka oleh sebuah sungai bernama amanogawa (dalam konteks astronomi, sungai ini merepresentasikan galaksi milkyway. Mereka hanya dapat bertemu setahun sekali yaitu pada tanggal 7 bulan Juli.

***Orihime adalah putri raja langit yang bekerja sebagai penenun. Orihime merupakan representasi dari bintang vega. Sama seperti Hikoboshi, Orihime jatuh cinta padanya dan karena ketekunan Hikoboshi, akhirnya mereka menikah. Akan tetapi kebahagiaan mereka membuat mereka lupa akan pekerjaan yang memicu amarah raja langit. Pada akhirnya mereka dipisahkan oleh sungai amanogawa dan hanya dapat bertemu setahun sekali.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe