[Cerita Pendek] Cerpen Deskriptif - Perutku Lapar

8:56 AM


Cerita Pendek Deskriptif

Perutku Lapar

Oleh Faustine Angeline

 Hawa panas dan teriknya mentari menandakkan kalau hari sudah siang. Mataku tertuju pada arah jarum pendek dan panjang di dalam jam tanganku. Pukul 12 tepat, begitu ujar mereka. Kelas saat itu terkesan lebih tenang dari biasanya. Suara obrolan teman-teman sekelas terlebih lagi yang berada di barisan paling belakang tidak lagi kudengar. Suasana kelas yang sangat jarang kurasakan. Mungkin karena lapar, pikirku. Aku tidak heran kalau suara-suara protes terdengar dari perutku yang sudah meminta untuk diisi. Aku duduk terdiam di tempat favoritku, baris pertama kursi paling pojok, paling dekat dengan tembok.
Sekali lagi aku usahakan melihat ke depan, ke arah dosenku yang sedang menjelaskan. Ah, berapa lama lagi aku harus mendengarkan dan tidak bisa segera menyantap makan siang, untung saja perutku tak berbunyi keras, batinku lagi. Aku memerhatikan arah jarum detik pada jam tanganku, berharap tiap detik dapat berlalu dengan cepat. Sesekali kulihat ke sampingku, menemukan teman-teman yang duduk dengan muka lesu. Dosennya sendiri juga tampak tak bertenaga. Dengan sebuah helaan nafas, dosenku mengakhiri ceramahnya siang ini, berjalan keluar tanpa memberikan tugas pada kami. Segera aku bergegas keluar ketika kelasku selesai, melewati beberapa temanku yang turut beranjak dari tempat duduk mereka dan keluar dari kelas.
Anak tangga ku turuni dengan cepat, beberapa kali hampir aku tersandung tetapi aku masih dapat menjaga keseimbangan. Setelah kulalui, kakiku langsung saja membawaku ke arah kantin. Lorong kampus pada lantai dasar hari ini terlihat sepi, hanya beberapa mahasiswa terlihat berkeliaran di lorong. Beberapa siap dengan tugas-tugas di tangan, berkejaran dengan waktu, berlari keluar dari perpustakaan menuju lift yang ada di depannya. Pandanganku ku alihkan ke arah lift, terlihat beberapa anak yang sedang menunggu lift. Ah, perutku kembali protes, seakan mengingatkanku pada tujuan utamaku. Tanpa memedulikan hal yang lain, kulangkahkan kakiku kembali menuju kantin.
Baru saja aku memasuki area kantin, aroma lezat dari masakan-masakan yang tersedia, terutama nasi goring, langsung membuat perutku berbunyi lebih keras. Jejeran meja berwarna hitam tertata rapi secara horizontal. Kursi-kursi yang sebagian besar memiliki warna hijau pada senderannya terjejer rapi pada sisi setiap meja. Di bagian belakang, terlihat beberapa mahasiswa sedang asik berkutat dengan laptop-laptop mereka. Aku berjalan melewati beberapa mahasiswa yang tengah berbincang sembari menyantap makan siang mereka. Sedikit sulit untuk menemukan tempat dimana aku akan duduk karena tempat yang biasa kutempati sudah terisi oleh beberapa teman sekelasku.
Kutemukan sebuah tempat kosong di depan kasir. Menaruh barang-barangku di kursi kosong di sebelahku, aku kemudian beranjak untuk melihat-lihat makan siang apa yang akan ku santap siang hari ini. Jejeran santapan rumahan menggoda seleraku. Makanan seperti telur balado, chicken katsu, cah sayur dan berbagai macam masakan rumahan lainnya tertata rapi dalam sebuah barisan. Seorang wanita dengan ramah menyapaku, mbak yang biasanya melayani para siswa yang ingin membeli masakan yang terjejer dalam bentuk prasmanan. “Makan disini dek?” tanyanya. Kujawab dengan sebuah anggukan, mataku melirik lauk yang kuinginkan sembari mbak menyiapkan nasi. “Telurnya satu mbak, sama perkedel dua ya.” jawabku, melihat mbak mengambilkan lauk yang kuinginkan dan menaruhnya dalam piring melamin berwarna merah. “Totalnya enam belas ribu dek.” Ujarnya sambil memberikan secarik kertas yang sudah dilaminating dengan angka enam belas tertulis di atasnya.
Setelah mengambil piring berisikan santapan siangku dan berterima kasih pada mbak kantin, aku berjalan menuju kasir. Piring penuh lauk kutaruh pada meja kasir agar aku bisa merogoh kantongku dan mengeluarkan dompet. Kuberikan secarik kertas tadi kepada kakek tua penjaga kasir yang ramah. “Enam belas ya, kek.” Ucapku sembari mengeluarkan selembar uang dua puluh ribu dari dompetku. Si kakek hanya tersenyum kecil sebelum memberikanku nota dan dua lembar uang dua ribu sebagai kembalianku. Langsung kubawa piringku yang ada di meja kasir ke tempat dudukku, dimana tasku tadi kutinggal.
Ah, dengan suguhan seperti ini, ingin rasanya langsung kusantap hidangan yang ada di depanku. Tapi, tak lupa aku memejamkan mata, mengucap syukur dulu atas makanan yang akan kusantap hari ini. Kuraih sendok yang ada di atas piring, tepat di sebelah lauk, dan mulai menyantap tanpa menunggu lagi. Rasa masakan rumahan yang jujur sudah lama tak kurasakan membuatku sedikit lebih senang. Walau rasanya tak seberapa jika dibandingkan dengan masakan ibu.
Tak terasa santapanku sudah hampir habis dan perutku sudah mulai merasa kenyang. Tidak mau menyisakan apapun, kuhabiskan terlebih dahulu makanan yang ada sebelum beranjak dari kursi, memakai kembali tasku dan mengangkat piring kosong untuk kubawa ke tempat dimana biasa piring kosong ditempatkan. Setelah selesai, aku berjalan keluar, mengeluarkan ponsel untuk mengecek jadwal sebelum melangkahkan kaki menuju kelas berikutnya.

You Might Also Like

0 comments

Subscribe