Sekuntum Petunia dan Permohonan yang Tak Sampai
Oleh: Faustine Angeline
Angin malam
berhembus pelan, memberikan kesejukkan tersendiri di malam musim panas. Yama
menemukan dirinya berdiri di taman dekat sekolahnya dulu, sebuah taman kecil
dengan pohon besar di tengah-tengah taman. Kalau musim semi, daun hijau pada
ranting-ranting pohon itu akan memekarkan bunga berwarna merah jambu yang
memenuhi dahan dan rantingnya. Sayangnya, bunga itu hanya mekar pada musim semi.
Yama melangkahkan kakinya menuju pohon itu,
menapaki jalan setapak yang disediakan di taman itu. Bunga-bunga musim panas
mulai bermekaran, menghiasi satu sisi dari taman itu. Keempat sisi dari taman
ini memang dihiasi oleh bunga-bunga yang berbeda, tiap sisinya dipenuhi oleh
bunga dari musim-musim yang ada di Jepang. Pojok kiri atas dipenuhi dengan
bunga musim semi, pojok kiri bawah musim panas, pojok kanan atas musim gugur dan
pojok kanan bawah musim dingin. Langkahnya terhenti ketika ia melihat kumpulan
bunga petunia berwarna biru keunguan yang memenuhi semak-semak di pojok kiri
bawah, bersama dengan bunga-bunga musim panas lainnya.
Pemuda dengan
potongan rambut cepak berwarna hitam itu membungkuk sedikit, memetik sekuntum
bunga petunia itu. Yama tersenyum kecil, mengingat memori manis akan seseorang
yang ia sayangi. Benar-benar seperti dirinya, indah tapi dapat bertahan di alam
liar, batin Yama dalam hati. Bunga di tangan, ia lalu melanjutkan perjalanannya
mendekati pohon yang berdiri di tengah taman.
Ah,
pohon ini, ucapnya dalam hati, lagi-lagi memori manis dari masa-masa sekolahnya
bangkit di benaknya. Ia ingat sering bersandar di sini, menunggu sosok manis
berambut panjang lurus untuk menemuinya. Nostalgia manis itu membuatnya
bersandar pada batang pohon yang besar, tangan kirinya terlipat di depan dada
sembari yang kanan memilin bunga yang tadi ia petik.
“Ah… Nama
bunga ini apa ya?”
Yama
bertanya pada dirinya sendiri, walau ia tahu tidak akan ada yang menjawab.
“Petunia,
bukankah sudah berkali-kali kuingatkan padamu?”
Mata Yama
langsung melayangkan pandangannya ke arah asal suara. Raut wajahnya yang kaget
langsung berubah lembut ketika ia melihat siapa sosok itu. “Kau tahu kan betapa
mudahnya aku melupakan nama, bukan?” Yama beranjak dari sandarannya, melangkah
mendekati figur yang juga berjalan mendekatinya.
“Bagaimana
jadinya kalau aku tak ada, siapa yang akan mengingatkanmu?”
“Maka dari
itu, kau akan tetap bersamaku kan?”
Sosok
berambut panjang berwarna biru muda itu tersenyum kecil, meraih tangan kiri
Yama dan mengenggamnya lembut dengan kedua tangannya. “Kau ini… tampaknya masa
depanku memang sudah direncanakan olehmu, Yama.” Yama tertawa pelan, tampaknya
sangat menikmati suasana ini.
“Kau tidak
keberatan kan, Kou?”
“Tidak…
Jika kau memberi tahu padaku apa arti sekuntum Petunia.”
“Kau
sendiri belum pernah memberitahukan artinya padaku!”
Kou
tersenyum sambil memberi pemuda di depannya beberapa anggukan kecil.
“Itu memang
karena kau harus mencari tahunya sendiri.”
****
Mata Yama
terbuka pelan, masih berusaha untuk mengadaptasi masuknya sinar dari arah
jendela kamarnya. Tadi itu… mimpi ya? tanya Yama pada dirinya sendiri sebelum
beranjak dari posisi tidurnya, melipat kaki dan duduk di ranjangnya. Lagi-lagi
mimpi itu, apa mungkin… batinnya dalam hati, matanya langsung mencari kalender
yang berdiri tegap di atas meja kayu yang dipenuhi dengan buku-buku dan kertas
yang berserakan.
Yama
beranjak dari kasur, membiarkan kakinya membawa tubuhnya ke hadapan meja itu.
Tangannya tergerak untuk mengambil kalender tersebut, menyibakkan halamannya
yang ternyata sudah lama tidak ia ganti.
“Tanggal 7
Juli, ya..” Gumam Yama, tentunya tidak kepada siapapun. Sudah setahun, ucapnya
dalam hati. Hari ini genap sudah setahun aku tinggal sendirian, tambahnya.
Senyuman pahit terukir pada bibirnya seraya tangannya yang bergetar meletakkan
kembali kalender tersebut ke tempatnya.
Tidak
beranjak dari depan meja, Yama membuka laci pertama dari laci yang menempel
pada kanan meja kayu itu dan tanpa melihat ke dalamnya, ia mengambil sebuah
amplop yang tampak sedikit usang dan berkerut, seperti sudah terkena air
berkali-kali. Menghela nafas berat, ia membuka amplop tersebut, mengeluarkan
isinya dan meletakkannya di atas meja.
Isi
amplop itu hanya ada dua, secarik kertas dengan lubang di bagian atas yang juga
sudah diikatkan pada seutas benang. Satu lagi, satu lembar kertas putih polos
yang terlipat menjadi 4 kali lebih kecil dari ukuran aslinya. Berbeda dengan
amplopnya, kedua barang ini masih terlihat cukup baru, walau ada sedikit
kerutan, tapi terlihat jelas kalau Yama baru kali ini membuka amplop tersebut.
Tangan Yama masih bergetar, tetapi ia beranikan diri untuk membuka lipatan
kertas itu.
Mengambil
nafas yang dalam, Yama pun mulai membaca.
****
“Yama,
Jika kau membaca ini, artinya sudah genap dua tahun
kita tinggal bersama. Tidak, aku bukannya tidak mau mengatakannya langsung
padamu, tapi kudengar dari adik iparku hal ini akan menjadi sesuatu yang
menarik untuk dicoba.
Ah maaf, aku keluar dari topik ya?
Yang aku ingin katakan sebenarnya cukup sederhana, tapi sebelum itu, apa kau
ingat akan bunga petunia? Jangan katakan kalau kau lupa lagi, Yama,
“Ya, tentu
aku ingat. Mana bisa aku lupa.”
****
“Kau
tahu arti bunga petunia dalam bahasa bunga?”
Yama
menggeleng, tentu saja ia tidak tahu. Kou seharusnya tahu kalau ia tidak begitu
peduli dengan hal seperti itu. Yang ia tahu hanyalah bagaimana warna bunga itu
cocok sekali dengan Kou.
“Tidak,
kau tahu kan aku tak punya minat terhadap hal seperti itu. Tapi,” Ia mengambil
sekuntum bunga kecil itu dari tangan Kou, lalu menyelipkannya di telinga sosok
yang ia sayangi itu. Seulas senyuman merekah di wajah Yama yang tampak puas
atas hasil kerjanya. Tangannya tidak segera ia lepas, membiarkan rambut panjang
Kou membelai kulitnya sebelum tangannya turun dan mengelus pelan pipi orang
kesayangannya. “Seperti yang sudah kuduga, warna bunga ini memang cocok
untukmu, Kou.”
Senyuman
polos menghiasi wajah Yama, yang sebaliknya, membuat wajah lawan bicaranya
semakin memerah. Yama merasa sedikit bersalah, tapi tak dapat ia pungkiri kalau
ia suka melihat pipi Kou bersemu merah jambu seperti itu.
“…Yama,
kau ini—“
“A-aku
tidak salah memilih bunga kan? Apa artinya buruk?” Sanggah Yama cepat, khawatir
kalau sebenarnya bunga ini memiliki arti yang buruk. Melihat kepanikan pada
wajah kekasihnya, Kou hanya dapat tertawa kecil.
“Tidak
kok, walau sebuket bunga petunia menunjukkan ketidaksukaan yang mendalam, tapi
kalau hanya sekuntum…”
Kou
berhenti, wajahnya kembali memerah.
“Kalau
sekuntum?”
“Itu,
harus kau sendiri yang cari tahu.” Ujar Kou lagi.
****
“Apa sudah kau cari tahu? Entahlah, aku
punya perasaan kalau kau belum.
Bagaimana? Apa
jangan-jangan kau lupa dengan nama bunga itu?
Haruskah aku
megingatkanmu lagi? Apa jadinya kalau aku tak ada disana eh,
Yama
hanya dapat tersenyum pahit membaca kalimat terakhir.
“Kau
benar, aku tak tahu harus bagaimana.”
Mata
Yama kembali terpejam. Ia ingat, ingat betul, bagaimana telepon setahun yang
lalu mengubah hidupnya.
****
“….Kecelakaan?”
Tak
ada jawaban, yang dapat Yama dengar hanyalah isak tangis adiknya.
“K-kou-san..
Ia, Ia…”
Tabrak
lari, tidak terselamatkan, tidak ada harapan lagi. Kata-kata itu terus
terngiang di kepala Yama. Tidak, tidak mungkin bukan? Seseorang tolong katakan
kalau ini hanyalah mimpi buruknya. “Kou.”
Senyuman
Kou terngiang di benaknya, air mata yang sedari tadi ia tahan keluar begitu
saja. Adiknya, Rika, sedari tadi memanggil dirinya melalui telepon, tapi tak ia
gubris.
“…….Kou.”
Di
hari Tanabata*, hari di mana
Hikoboshi** bertemu dengan Orihime***, Yama kehilangan orihimenya, dan
satu-satunya orihimenya, Kou.
“Kou."
****
Air
mata Yama sekarang sudah tak terbendung lagi. Tetesan air matanya jatuh
membasahi kertas yang ia pegang. Sakit, rasanya masih sakit mengenang kenangan
manis yang Kou tinggalkan untuknya tetapi ia juga ingin menjaga kenangan itu.
Menarik nafas panjang, Yama putuskan untuk kembali membaca.
“Petunia. Sebuket bunga
petunia berarti…
“Ketidaksukaan
yang mendalam.” Ya, Yama ingat ini.
dan, sekuntum bunga petunia berarti….
“Aku
nyaman bersamamu.” Aku nyaman bersamamu.
Air mata Yama sekarang benar-benar
membanjiri tangannya. Ia tidak dapat menghentikan air matanya. Mengambil
secarik kertas yang datang bersama dengan surat pendek ini, ia membalik
kertasnya, membaca tulisan yang ada pada kertas itu.
Semoga tahun depan, kita dapat merayakan
tanabata bersama lagi – Kou.
****
“Dengan
ini, sudah selesai tugasku.”
Yama
tersenyum. Kertas yang sedikit terlihat tua itu sudah tergantung rapi di salah
satu ranting bambu yang ia pasang. Di sebelahnya, kertas yang serupa juga
tergantung dengan baik. Seuntai kata-kata juga tertulis pada kertas itu, kali
ini dengan tulisan yang lebih berantakkan dari yang satunya. Yama beranjak dari
ruang tamunya ke arah balkon apartemen yang ia tinggali. Matanya tertuju pada
bintang-bintang, seraya memohon pada sosok kekasih bintang yang tengah bertemu
pada hari itu.
Aku
ingin bertemu denganmu, walau hanya sekali lagi. –Yama
Catatan:
*Tanabata
atau yang lebih dikenal sebagai festival bintang yang dilakukan pertahun oleh
masyarakat di Jepang, Tiongkok dan juga Korea. Festival ini terkenal dengan
tradisininya dalam menuliskan harapan atau keinginanmu di sebuah kertas yang
nantinya digantung di dahan bambu. Tanggalnya berbeda-beda menurut daerah,
tetapi yang biasanya digunakan sebagai hari tanabata adalah tanggal 7 Juli.
**Hikoboshi
adalah seorang penggembala ternak yang merepresentasikan bintang Altair. Dia
jatuh cinta pada Orihime dan berkat ketekunannya dalam bekerja, raja langit,
ayah Orihime, membiarkannya menikahi Orihime. Sayangnya, kehidupan bahagia
mereka tak berlangsung lama karena mereka saling menelantarkan pekerjaan mereka
yang membuat raja langit marah dan memisahkan mereka oleh sebuah sungai bernama
amanogawa (dalam konteks astronomi, sungai ini merepresentasikan galaksi
milkyway. Mereka hanya dapat bertemu setahun sekali yaitu pada tanggal 7 bulan
Juli.
***Orihime
adalah putri raja langit yang bekerja sebagai penenun. Orihime merupakan
representasi dari bintang vega. Sama seperti Hikoboshi, Orihime jatuh cinta
padanya dan karena ketekunan Hikoboshi, akhirnya mereka menikah. Akan tetapi kebahagiaan
mereka membuat mereka lupa akan pekerjaan yang memicu amarah raja langit. Pada
akhirnya mereka dipisahkan oleh sungai amanogawa dan hanya dapat bertemu
setahun sekali.